05 Oktober 2008

SUATU KETIKA DI JAKARTA

14 November 2007


Ketika seorang perempuan muda dengan bekas tatto yang disetrika, dengan goresan-goresan tanda penyiletan di sekujur lengannya, dengan sebatang rokok yang dia beli secara ketengan, perasaan senasib sebagai orang tersingkirkan menunjukkan nilai kemanusiaan yang terwujud dalam hal sederhana.

Sosok perempuan muda itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah kaum yang tersingkirkan. Dia terlihat menyadari keberadaannya dalam bis kota itu sebagai orang yang mungkin sebaiknya dijauhi. Dia duduk terpisah sendiri di deretan bangku paling belakang seakan mengerti bahwa kehadirannya bisa mengganggu kenikmatan oarang lain. Dia sangat peduli dengan keadaan sekelilingnya yang mungkin tidak peduli terhadap dirinya.

Tapi ada satu kejadian kecil yang mengubah pemahaman atas ketersingkiran seseorang. Ada seorang pengamen laki-laki masuk dengan menggendong anaknya yang masih bayi. Sang bapak menyanyi dengan botol air mineral berisi pasir sebagai alat musiknya. Saya sendiri tidak bisa mengerti apakah si bayi yang mencari uang demi sang bapak, atau justru sang bapak yang bekerja keras memenuhi kebutuhannya. Ah...., atau mungkin itu hanya pikiran saya yang sedang menerawang saja.

Tatkala si perempuan muda akan turun, telinga saya mendengar dialog seperti ini.

Perempuan : Nih Bang, buat makan bayi lu!

Laki-laki : Ga usah lah. Itu kan juga buat makan lu, gua kagak mau. Lu kan juga perlu makan. Emang lu udah ada uang buat makan?
Perempuan : Gua sih gampang, sebentar juga bakalan dapet duit. Kasihan bayi lu kalo kagak makan
Laki-laki : Bener ga usah.

Lalu terjadilah tarik ulur, si perempuan muda memaksakan uangnya agar diterima sementara si laki-laki pengamen menolak dengan keras menerima uang dari perempuan muda itu. Akhirnya, jalan tengah pun muncul. Si bayi lah yang akhirnya menerima uang seribuan dari si perempuan muda. Si bayi tersenyum dan tertawa menerima uang tersebut, si bayi yang tanpa sadar sudah terjebak dalam denyut budaya kota besar, bayi yang belajar secara langsung bagaimana budaya memberi dan menerima perhatian terhadap kaumnya. Dan jiwa bayi akan merekam semuanya itu untuk kehidupannya nanti.

Di Blok M, di dekat pasaraya yang menjulang megah, "suatu ketika" itu terjadi. Tanpa budaya gembar gembor lewat pengeras suara seperti menjelang kampanye, tanpa ada keinginan untuk menarik perhatian kaum tersisih yang sering semakin tersisihkan.

Kadang saya malu terhadap diri sendiri karena kadang-kadang terjebak pada gagasan muluk menuju awan dan lupa dimana kaki saya berada. Mungkin saya harus lebih banyak belajar dari perempuan muda dengan keberadaanya yang disetrika sebagaimana tattonya, dengan goresan di sekujur lengannya seperti goresan di hati yang dia alami dalam hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar