05 Oktober 2008

Pencerahan dan kebenaran

14 November 2007


Perasaan takut, khawatir, gelisah dan segepok keraguan masih menempel sebelum kuambil keputusan pergi Ke Nanggroe Aceh. Segudang nasehat dan petuah dari sahabat dan teman sejawat juga membuat saya lebih akurat dalam memilih pakaian, menuntun bagaimanakah sebaiknya bertindak dan berperilaku " yang pas" selama berkiprah di Aceh.

Sampai di Bandara Sukarno-Hatta sesudah, saya langsung dihadapkan pada satu hal yang menarik dan mengubah sedikit "bekal" yang saya bawa dari Jawa. Ah, ternyata siku laki-laki boleh saja terlihat, tidak harus memakai baju panjang menutup siku! Padahal dalam kopor saya, ada beberapa baju lengan panjang sebagai "bekal beradaptasi". Kejutan lain juga ternyata sudah menunggu di tanah serambi , lha ternyata ada juga laki-laki yang bertelanjang dada di pinggir jalan, serta kaum hawa yang berpakaian sebagaimana biasanya dalam rumah seperti yang saya lihat di kost saya.

Lebih menarik lagi, "bekal dan nasihat" yang saya bawa ternyata tidak berlaku 100 % tepat. Lha...., saya lalu berpikir dan tercenung. Saya yang bodoh karena menelan mentah-mentah petuah yang masih dibumbui juga rasa deg-degan, atau memang sebenarnya tanah serambi ini tidak seperti yang saya dengar selama ini?? Atau bahkan kedua hal itu bercampur?

Di jalanan pun, saya lihat ada perbedaan yang cukup tajam dari apa yang saya pahami dan pikirkan dengan kenyataan yang ada di sana. Lalu lalang kendaraan dengan penumpang berbusana muslim " ala" NAD justru semakin menguatkan bahwa "sangu" saya sedikit berlebihan, khususnya di daerah perkotaan. Bagaimana tidak, yang saya lihat adalah adanya kontradiksi yang tidak terlalu kentara, ada "tawar-menawar" antara keinginan dan aturan pada generasi mudanya.

Dalam waktu senggang, saya membaca koran lokal yang isi beritanya sama persis dengan daerah lain : keinginan mendapat lebih banyak materi dengan cara mengambil yang bukan haknya, penguasaan satu manusia atas sekelompok manusia lain, ketidakpedulian atas keberadaan makhluk lain. Sama seperti di tanah tanpa tuntunan keyakinan yang khas, tanah lain yang sudah terlibat dalam kemajuan zaman. Dalam hati saya berpikir inikah kebenaran yang sebenarnya tentang manusia, manusia yang kadang-kadang tidak mau terikat oleh ruang dan waktu dalam keberadaannya? Apakah ini juga bagian dari pencerahan yang saya terima dalam ukuran yang sangat kecil?

Tetapi, rupanya saya masih harus mengalami sesuatu yang sangat mengejutkan. Pada malam terakhir di Banda, saat saya berpamitan, ibu kost saya bertanya kepada saya untuk masuk ke kepercayaan yang dianutnya. Dan kalau saya bersedia, esok pagi sebelum kembali ke Jawa saya akan diajak untuk secara resmi memasuki "dunia baru" WAH!!!!!

Saya sangat tidak menyangka bahwa pada saat-saat terakhir itulah saya mendapatkan "pencerahan", menerima "pembenaran" atas keyakinan saya selama ini. Tentu saja saya harus bermanis-manis untuk menjawab permintaan tersebut demi keharmonisan dengan mengatakan "terima kasih, tapi mungkin saatnya belum tiba". Pada saat itu saya jauh dari rasa marah atau kagum atau bahkan sedih. Hanya rasa terkejut saja yang muncul

Sesudah kembali ke Yogya, saya lalu merenung dan mencari jawaban atas "pencerahan itu". Apakah Sang Pencipta terlibat dalam hal ini? Apakah Sang Pencipta saya tidak sama dengan Sang Pencipta ibu kost? Apakah saya memang belum mengenal Sang Pencipta saya yang sudah ada dalam hati saya?
Di mana sebenarnya berada kebenaran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar