05 Oktober 2008

JAGAD YANG TERBALIK

12 November 2007

Dalam satu perhelatan akbar suatu kelompok masyarakat "priyayi baru" beberapa saat lalu, jagat bali winalik, buana kembali diputar ketika " sang makro" memasuki dunia " si mikro" dalam pelayanan dan kesederhanaan serta pengakuan disertai penghargaan yang tulus. Bagaimana tidak, seorang Raja Jawa menempatkan dirinya pada kedudukan sebagai penyambung lidah si abdi dalem dihadapan "para priyayi baru" dalam memaknai apa arti kepemimpinan. Sang Raja justru menjadi penterjemah tentang kepemimpinan yang dipahami dari kaca mata kebijakan si abdi dalem, kebijakan yang bermula dari rasa sebagai manusia biasa di hadapan alam semesta yang sangat luas dan kesederhanaan di bawah kuasa SANG PENCIPTA, GUSTI KANG AKARYA JAGAT. Sang raja harus diajak mencerna bahasa si abdi dalem dan dengan kerendahan hati juga sang raja bersedia menjadi "gusti kang ngawula". Bahkan diakui oleh sang Raja, beliau mengatakan dengan jujur kesulitan yang dialaminya ketika harus "membahasakan" bahasa si abdi dalem, sama seperti halnya para bendara yang harus memaknai ucapan Semar dalam jagat pewayangan. Sang Raja tidak merasa rendah diri ataupun direndahkan dalam pasamuan akbar "para priyayi baru", sang raja justru mengambil tempat sebagai penyampai pesan dari manusia biasa. Tahta untuk rakyat tampak secara nyata dalam perhelatan ini, mahkota yang disandingkan dengan blangkon.


Kebijakan dan rasa kepemimpinan yang tidak dirasakan sebagai kesombongan dan kesemuan si abdi dalem sebagai cerminan "kawula", bahkan barangkali tidak pernah dirasakan sebagai kepemimpinan si abdi dalem ditampilkan pada pasamuan akbar "para priyayi baru" sebagai penutup merupakan tanda tentang kesederhanaan dan kerendahan hati seorang manusia biasa yang sangat setia dan bisa memaknai bagaimana seharusnya setia terhadap tugas yang diemban, keteguhan dan keberanian meghadapi bahaya demi sesama. Inilah sikap pemimpin satu kelompok masyarakat kecil sekaligus kesadaran seorang abdi dalem yang justru sangat ironis karena hal ini disampaiakan di hadapan "para priyayi baru" yang merasa dengan sangat bangga sebagai pemimpin negeri ini. Yang kadang dengan congkak hati justru mengambil sikap sebagai penentu kerusakan negeri ini.

Jagat kang winalik benar-benar terjadi dalam satu peristiwa yang mungkin sangat biasa dan tidak bermakna dalam jagat pewayangan hidup di negeri ini. Jagat benar-benar dibalik karena sang raja menjadi sang abdi. Jagat kembali diputar ketika "para priyayi pemimpin" negeri ini masih diajari bagaimana seharusnya berperasaan, berperilaku, dan berpenghayatan serta bertindak sebagai pemimpin. Di satu sisi ada cerminan bagaimana kearifan seorang jawa dalam menghambakan dirinya sebagai abdi dalem, dan di sisi lain ada ironi bagaimana para pemimpin ternyata masih tidak tahu bagaimana menjadi pemimpin karena tidak tahu bagaimana para kawula berbahasa.

Manunggaling kawula gusti dalam bentuk menyatunya abdi dalem-ratu tidak berhenti saat itu saja karena sang ratu mengambil satu keputusan mengambil posisi lebih tegas dalam memberikan dhampar kencana bagi kawula, tahta untuk rakyat. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar