05 Oktober 2008

RASA ITU TIDAK LAGI SAMA

12 November 2007


Konon, ada suatu daerah di negeri yang terkenal dengan senyum manis warganya yang selalu tersungging di bibir masyarakatnya. Kasih sayang dan perhatian tulus selalu tercermin dalam raut muka yang bersih dari keinginan menyusahkan orang lain, apa lagi mengambil yang bukan haknya. Ah, Tetapi mereka juga memiliki harta dan kekayaan bersama, yaitu 'rasa sama'. Harta dan juga sekaligus pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan luar biasa dalam menghadapi segala keadaan.

"Seneng-susah kuwi padha, lan uga dadi duwekke pepada " Rasa senang dan susah itu sama, dan juga milik sesama". Tidak ada orang yang merasa lebih bahagia dari orang lain, tiada orang yang jauh merasa menderita daripada sesamanya. Rasa itu sama dan dirasakan sama oleh sesamanya, semua orang. Pepada adalah padha, sama, sesama. Tidak berbeda meskipun berbeda secara badani.

"Tangga teparo kuwi sedulur" adalah kebahagiaan seseorang dalam berasa sama dengan orang lain, teparo adalah bentuk dari paro yang artinya setengah. Tetangga adalah setengah bagian dari keseluruhan hidup orang di daerah itu. Setengah tidak akan menjadi satu kalau tidak ada setengah yang lain.

Namun, ketika Sang Hyang Antaboga menggerakkan ekornya dan menimbulkan bumi horeg, sehingga daerah itu ketaman lindu sedina kaping pitu, "rasa sama" itu meredup perlahan. Ekor Sang Hyang Antaboga yang menggoyang bumi 7 kali dalam sehari mendangkalkan "rasa sama", mengurangi pamor pusaka pada titik yang membahayakan.

Lindu atau gempa itu sendiri diterima sebagai sesuatu yang memang bisa terjadi dan harus diterima dengan rasa yang benar, tinampa kanthi legawa. Sesuatu yang harus diterima dengan rasa kesadaran penuh, legawa. Tangga teparo tetap menjadi setengah dari satu, kabeh ngrasakake rasa kang padha. Semua merasakan rasa yang sama, tidak ada yang lebih atau kurang.

Bencana atau Kala bendu yang benar-benar meluluhlantakkan rasa sama ternyata muncul belakangan. Kala bendu itu datang dari Batara Kalla- batara pembawa bencana, yaitu "lindu awujud lathi ing tengahing idu" Horegnya bumi dalam wujud bibir yang bersimbah ludah. Bibir yang menghasilkan kata. Kata dan angka yang membawa bencana.

Kekuatan gempa itu berjuta-juta kali lebih dahsyat dari sabetan ekor Sang Hyang Antaboga. Kehancuran yang ditimbulkannya bernilai 10, 20, bahkan 30 juta kali. Bebendu yang ditimbulkan Batara Kalla sungguh maha dahsyat dan menghancurkan rasa sama,

Rasa sama yang menjadi pusaka sekaligus panutan warga di daerah itu pun mulai redup, seiring nilai kehancuran yang dirasakan. Kekuatan 's ama dalam rasa" perlahan berubah menjadi rasa saya 3 juta lebih besar dari rasa kamu. Tangga sebagai tidak lagi menjadi teparo-setengah.Tetangga memang "mung separo", hanya setengah. Setengah, bukan satu. Ora padha, tidak sama. Tangga kena pinilara ing rasa lan raga, tetangga bisa disakiti secara jasmanidan rohani.

Karena rasa tidak lagi sama dan tetangga bukan lagi bagian dari satu, maka lahirlah anak turun dari Batara Kalla sebagai wujud dari kalabendu itu. Anak turunan dari Betara Kalla itu adalah kekerasan, keserakahan, sebagai bagian dari rasa tega.

Konon, ada satu daerah di negeri yang terkenal dengan senyum indahnya berubah menjadi senyum bengis dari seorang tetangga pada sesamanya. Senyum bengis karena rasa yang tidak sama diantara sesama.

Kasih sayang yang tulus berubah menjadi kasih saya uang kalau kamu sayang dengan hidupmu. Batara Kalla memang membawa bebendu

Rasa itu tidak lagi sama.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar