05 Oktober 2008

LEBIH ENAK JADI KERE

12 November 2007


Sebagai orang daerah, terus terang saja saya masih gamang dengan keadaan kota besar baik dari luasnya, karakter manusianya, keramaiannya, keamanannya, da juga dengan "budaya baru" yang senantiasa berkembang dan hadir setiap hari.

Karena sering mendapat kesempatan mengunjungi kota besar seperti Jakarta, kadang-kadang saya merasa capai secara badani dan jiwa( ni?) karena "keberadaan"konsep kota besar itu. Kelelahan fisik mungkin bisa cepat diatasi dengan cukup istirahat dan makan yang bergizi, tapi bagaimana dengan keadaan jiwa sebagai inti dari keberadaan "wong ndeso"?

Dalam setiap pertemuan , adalah hal biasa kalau pembicaraan sebagai hasil pertemuan dua manusia Indonesia berkisar pada hal-hal keluarga, pekerjaan, dan pandangan hidup yang dimiliki secara pribadi. Pertanyaan dan jawaban tentang sudah menikah, punya anak berapa, kerja di mana, adalah santapan rutin yang senantiasa hadir. Hanya saja, saya sebagai "wong ndeso" terkadang merasa capai kalau pertanyaan yang bernuansa lembaran kertas bertulisan "rupiah" hadir dalam keindahan bertanya jawab.

Rasa capai itu sering hadir tatkala teman bicara memunculkan kata "TAJIR", kata yang saya rasa cukup "sakti" untuk menilai keberadaan seseorang. Bagaimana tidak sakti kalau dalam setiap obrolan, kata itu muncul ketika saya mengatakan apa pekerjaan saya. Contohnya

A : "Kamu kerja apaan?"
B : "Saya guru, ngajar bahasa Indonesia"
A : " Kok cuma sebentar di Jakarta?
B : "Soalnya murid cuma mau belajar sebantar aja"
A : "Lho, kamu ngajar siapa, anak-anak sekolah? "
B : "Nggak, sih. murid saya orang-orang asing."
A : "Wah, asik dong, duitnya gedhe tuh. Dolar kan? kamu tajir, ya


Terus terang saja hal ini membuat saya menjadi malas untuk menjawab dan meneruskan obrolan santai itu. Kemalasan saya timbul karena tanya jawab berikutnya biasanya berkisar pada "kesaktian" lembaran warna-warni yang menari di depan mata. Kadang-kadang mereka tidak percaya kalau saya bisa juga merasakan hembusan angin dari atas ojek atau bajaj, kuatnya tangan karena bergelantungan di dalam busway, bagaimana nikmatnya menu istimewa yang senantiasa sama di WARTEG"

Ah, mungkin saya saja yang menjadi naif dengan obrolan semacam ini, atau barangkali merasa malu dengan perbedaan antara pandangan meraka dan kenyataan yang ada? Atau bisa jadi saya salah dalam menilai 'budaya kota besar" yang barangkali juga tidak selalu memunculkan "mantra TAJIR"

Atau sebaiknya saya mendalami saja mantra "tajir" sebagai bagian dari budaya perkotaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar