11 Desember 2008

Memaknai kembali Kurban

Dalam kebingungan mencari makanan di warung pada saat hari raya kurban, saya sempatkan menonton TV tentang kegiatan pada hari itu dengan harapan bisa melihat wajah-wajah berseri kaum papa yang akan menerima cinta Sang Pencipta.

Sekilas raut bersinar tampak pada beberapa sosok manusia yang diaggap papa oleh sekelompok manusia lain karena perbedaan kebendaan yang melekat pada dirinya. Terlihat pula sekelumit senyum penuh syukur atas berkah dari Sang Pencipta yang diterimanya pada hari itu.

Pada satu titik, saya terhenyak dan tidak bisa mengerti atas apa yang saya dengar dan saya lihat dari kaca itu. Wajah-wajah polos itu berubah menjadi tidak menentu ketika berkah yang (mungkin) diharapkannya itu. Wajah polos itu tiba-tiba berubah menjadi wajah beringas ketika terjadi saling paksa untuk mendapatkan yang mungkin bukan menjadi HAKnya. Lalu atas nama hak itu pulalah wajah itu kembali berubah bentuk menjadi wajah cari untung, rona cari selamat, sinar cari aman, cahaya cari korban baru. Si papa ditempatkan sebagai tempat cari untung dengan dikondiskan secara“sukarela” menjualnya kepada pedagang dengan nilai seperampatnya. Si kurus “membiarkan” dirinya diinjak oleh si kuat. Si kecil “lebih baik” menyingkir daripada disikut oleh si besar. Si sakit “ diajari” lebih sakit dengan sekerat hati yang bercacing.

Makna KURBAN dalam bahasa Arab yaitu “persembahan kepada Tuhan atau pemberian untuk menyatakan kesetiaan atau kebaktian” berubah menjadi induk kata yaitu KORBAN sebagai "orang atau binatang yang menderita atau mati akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya”. Wajah-wajah yang seharusnya menjadi tanda sukacita atas kesetiaan dan kebaktian itu meronta menjadi wajah memelas, wajah yang disakiti. Wajah atas tindakan kejahatan. Wajah KORBAN. Hewan sebagai lambang kesetiaan dan kebaktian manusia atas anugerah Sang Pencipta tiba-tiba bermakna sebagai binatang sebagai penyebab ketidakadilan manusia atas manusia lain.

Korban yang berasal dari akar kata Ibrani KAROV dengan makna "[datang] mendekat [kepada Allah]” ternyata bisa juga “diterjemahkan” menjadi “[pergi) menjauh [dari Allah] karena “akal budi manusia” yang berubah menjadi “akal-akalan manusia”. Petunjuk para nabi bahwa kurban sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta yang harus disertai moralitas dan kebaikan dari dalam diri manusia itu sendiri diterima sebagai bentuk pengingkaran kepada Sang Pencipta diiringi kepentingan si kuat terhadap si tak berdaya, ketidakadilan terhadap si papa atas hasrat si punya.

Pastilah tidak semua manusia melakukan hal itu. Saya sangat yakin masih banyak kebenaran dan bukan pembenaran atas makna Kurban yang sangat menyentuh sisi hati yang mencintai terhadap yang dicintai. Masih juga terlihat ketulusan yang menyentuh dari si berkehendak baik kepada si penerima syukur yang berharap dengan murni. Tampak pula senyum penuh kasih dari yang terpanggil untuk berbagi dengan tawa bahagia dari yang diundang untuk berhak berbagi.

1 komentar:

  1. Korban yang berasal dari akar kata Ibrani KAROV dengan makna "[datang] mendekat [kepada Allah]” ternyata bisa juga “diterjemahkan” menjadi “[pergi) menjauh [dari Allah] karena “akal budi manusia” yang berubah menjadi “akal-akalan manusia”.

    Ini adalah salah satu contoh kalimat yang pelan tapi dalem... :)

    BalasHapus