28 November 2008

Pembedaan Yang Membingungkan

Pada suatu hari saya merasakan ada sakit yang sangat kuat pada gigi saya sehingga memaksa saya untuk menghadap bor-bor kecil dari dokter gigi yang sangat ternama di ujung Barat negeri ini.

Saya mencoba datang sedikit awal dengan harapan segera terbebas dari sakit tapi apa lacur, saya harus menulis nama untuk menghadap sang dokter 2 hari kemudian dengan dengan tambahan kata-kata dari sang penulis daftar bahwa ada ketidakpastian jam berapa di tengah malam saya bisa menerima hunjaman ujung bor-bor itu. Mati lah awak ni…!!

Tapi rupanya nasib baik berpihak pada saya. Dengan bahasa daerah yang saya dan sang penulis bawa di rantau, saya bisa langsung menghilangkan rasa sakit itu. Dalam hitungan menit saya bisa langsung ditangani sang dokter!! Ajaib !!

Saya dianggap berbeda dengan pasien lain karena kesamaan asal sang penulis sekaligus dengan sedikit rasa kasihan atas penderitaan saya. Jadi pembedaaan itu menyelamatkan saya…. Dan saya sangat tidak menyesali bahwa saya berbeda dengan orang lain.


Keesokan siangnya, saya mencoba kesaktian sang dokter dengan menyantap kare kambing kesukaan sekaligus lambang kelahiran saya. Lahap sekali saya menghabiskan semangkuk dan dengan gagah saya kunyah daging kambing itu. Tetapi, ketika saya membayar harga makanan itu, saya jengkel sekaligus bertanya-tanya. Lha ya jengkel karena harga kesenangan saya dibedakan dengan orang lain yang sebahasa dengan sang penjual. Tidak banyak memang perbedaan yang diambil sang penjual , mungkin tidak sebanyak yang diambil para wakil kita di Jakarta. Pembedaan lah yang saya rasakan sebagai ketidakadilan yang terjadi atas diri saya. Tentu saja saya bersungut sungut sambil ngebut pulang.

Tiba-tiba saya teringat bahwa “ wah ….!! Kemarin kok saya berbahagia atas pembedaan yang menyenangkan ya? Kenapa sekarang saya berontak dengan pembedaan yang saya alami? Akhirnya saya tertawa dalam hati dan mencoba menerima dengan damai bahwa memang ada perbedaan dan sekaligus pembedaan. Mungkin saya harus bisa lebih belajar bahwa ada pembedaan yang membahagiakan dan juga ada pembedaan yang menyengsarakan sekaligus.

tulisan kedua

Surga dan Neraka


Ketika kecil, saya sering mendengar cerita dengan sangat takutnya bahwa ada tempat yang selalu sangat panas tak berkesudahan. Tempat dimana orang terbakar sampai habis dan kembali utuh untuk kembali terbakar sebagai balasan atas kesalahan yang dilakukannya selama hidup. Tapi, saya juga takjub dengan cerita tempat yang lain yang penuh dengan bunga, madu, dan selalu ada bidadari. Aaaah, saya juga bisa berbicara dengan binatang buas tanpa rasa takut karena cinta yang senantiasa ada di sana.

Konon, tempat itulah yang dikenalkan sebagai neraka dan surga, tempat saya akan tinggal sesudah meninggalkan kehidupan yang tiada kekal di bumi. Dan saya sendiri yang menentukan harapan mau tinggal di mana, dan juga tentu dengan penuh harapan ( atau paksaan) bahwa Yang Kuasa mengabulkan keinginan untuk tentu saja tinggal bersama bidadari, bercengkerama dengan harimau dan senantiasa dikenyangkan dengan kemewahan dan keindahan.

Ah, keinginan itu sangat kuat sehingga saya mengarahkan seluruh kemampuan yang kadang dipaksakan kebenarannya dan sekaligus membenarkan daya upaya saya untuk mencapai tempat itu kelak kemudian hari sesudah saya mati. Janji itu sangat manis sehingga tanpa sadar saya menciptakan tempat berapi untuk sesama saya selama dan di dalam hidup mereka di sini.

Ah, akhirnya pada satu titik saya merasa bahwa kesia-siaan sajalah yang saya dapatkan kalau saya selalu mengarahkan mencapai surga dengan menciptakan neraka bagi sesama. Apakah memang surga hanya ada di dunia sana? Adakah neraka dunia? Apakah surga di dunia hanya dibatasi pada kesenangan syahwati dan kebendaan saja? Apakah saya bisa merasakan sekaligus berbagi kedalaman kebahagiaan yang sangat bagi pribadi saya dan orang lain? Apakah ini masih belum bisa disebut surga yang sebenarnya ketimbang surga dalam impian dan harapan? Apakah Yang Kuasa memang hanya menentukan bahwa surga dan neraka hanya ada sesudah kita menghadapnya melewati kematian?

Tidak bisakah kita menghadap sekaligus merasakan kebahagiaan dan kesengsaraan dalam nafas kita saat ini? Tidak berada dalam surgakah ketika saya dan sesama saling berbagi memberi energi dan kedalaman cinta yang tulus sehingga semua baik adanya? Bukan surgakah ketika kedamaian yang dalam senantiasa melingkupi diri dan sekaligus memancarkannya ke luar?

Apakah saya sudah berada dalam neraka ketika tidak bisa terlepas dan selalu terkungkung dalam kesengsaraan yang mengalir dari dalam diri dan juga mengalirkannya kepada sesama sehingga benar-benar menyiksa seluruh denyut nadi dan nafas diri dan pribadi di luar saya?

Apakah bukan pembenaran atas pemaksaan kita terhadap Yang kuasa ketika saya meminta setengah paksa bahwa yang kuasa memberi pahala untuk kita kelak ketika melewati dunia mati?

Apakah memang Yang Kuasa menutup mata atas pembenaran dan kebenaran atas apa yang kita lakukan? Apakah memang yang Kuasa sedemikian bodoh kita tipu dengan pembenaran dan kebenaran yang terjadi?

Ah, kadang saya merasa sangat egois ketika saya mengharapkan balasan dari Yang Kuasa atas semua surga yang saya lakukan di dunia sementara nerakalah yang sebenarnya saya ciptakan.

Di manakah surga dan neraka sebenarnya ada?