18 Oktober 2008

Tulisan pertama

lahir dan batin

Pada awal manusia kecil muncul pertama kali di dunia, manusia dewasa menamainya sebagai peristiwa lahir atau “lair” dalam bahasa manusia jawa dan mengacu pada makhluk yang keluar dari rahim seorang perempuan, terlepas dari diharapkan tidaknya kedatanganya oleh manusia dewasa. “Anaknya si X sudah lahir, anake si X wis lair” adalah penandanya. Lahir-lair disamakan dengan badan-wadag dan menunjuk pada bentuk tubuh dan kadang disamakan dengan pengertian kasar. Lalu, di manakah lawan pengertian dari lahir-lair-badan-wadag-kasar? Lalu muncul pula lawan pengertiannya yaitu batin – batin (= batos)- sukma –alus yang kenyataannya kadang terlupakan disebut kehadirannya bersama si lawan pengertian.

Pada satu titik, waktulah yang akan menyejajarkan kehadirannya secara bersamaan meskipun kenyataannya seringkali masih dibedakan penyebutannya berdasarkan waktu, tempat, suasana. Lahir-badan-wadag-kasar akan tinggal di tempat nyata - fana –dan tidak akan pernah sampai di tempat yang kekal, tempat itu disebut dunia. Sedangkan batin-batos-sukma-alus, akan pergi di suatu tempat yang tidak pernah kita tahu keberadaanya secara nyata- imajinatif - abadi yang dinamai sebagai akhirat. Sesudah itu, mulailah manusia mengerjar keabadian dengan menempatkan surga dan neraka sebagai arah tujuan mereka dalam hal baik-buruk, kasar-halus. Lalu, berlomba-lombalah orang di dunia tidak kekal-fana-kasar-wadag ini mencoba meraih keabadian-alus-imajinatif itu dan melupakan bahwa surga dan neraka juga hadir dalam keseharian. “Swarga-nerakaning donya tansinebut sajroning urip titah janma manungsa” “Surga neraka dunia yang tidak tersebut dalam hidup manusia”. Apakah manusia lupa bahwa surga dan neraka sangat dekat dengan kita dan bahkan kita sudah memasukinya berulang kali sepanjang hidup kita? Apakah kita sadar bahwa surga-neraka hanya sebelah menyebelah dengan sangat dekatnya? Apakah kita hanya berdebat bahwa surga dunia mengacu pada kesukaan sesat yang sesaat?

11 Oktober 2008

NYICIL UTANG

Tadi malam, ketika saya sedang mengelompokkan uang yang tidak seberapa di dalam dompet saya, mata saya menangkap satu hal yang sangat sederhana tapi membuat saya tercenung. Di antara lembaran itu ada uang pecahan 20 ribuan yang sudah sedikit kumal, sobek di pinggirannya, dan ada bekas minyak. Saya tercenung karena di bagian kosong pada sisi muka uang, ada tulisan- saya kira dari model tulisan kelompok masyarakat yang tdiak mendapat kesempatan pendidikan- yang membuat trenyuh.

Sebenarnya saya sudah ribuan kali membaca tulisan tangan dari kelompok masyarakat ini, dengan bermacam perasaan yang tersurat : tentang cinta, nomor-nomor yang saya tidak tahu, mengajak kenalan, dll, dst. tetapi, tulisan di lembaran uang yang saya temukan sedikit berbeda. Tulisan itu menyiratkan kesadaran yang tinggi (atau mungkin keterpaksaan??) dari kelompok masyarakat bawah.

Tulisan itu adalah " NYICIL UTANG" dengan dua garis bawah. Duh, gusti (nuwun sewu gusti, kawula mboten mawi "G" ananging namung "g"). Pikiran dan perasaan saya langsung mencoba memahami bagaimana perasaan si penulis ini. Apakah dia sangat terpaksa menuliskannya? Apakah dia sadar bahwa mungkin nilai 20 ribu itu sangat berarti pada situasi sekarang ini? Apakah dia merasa terbebas dari beban yang harus ditanggungnya dalam nilai 20 ribu itu? Apakah dia harus menangis karena betapa susahnya melepaskan nilai itu dengan mengalahkan himpitan atas pemenuhan tuntutan perut keluarga? Atau justru dia merasa bangga di tengah kesulitannya karena bisa menunjukkan ketegaran dirinya atas tanggung jawab moralnya?

Gusti, kalau apa yang saya rasa dan pikir benar adanya, saya sungguh-sungguh perlu belajar dari dia.

05 Oktober 2008

SUATU KETIKA DI JAKARTA

14 November 2007


Ketika seorang perempuan muda dengan bekas tatto yang disetrika, dengan goresan-goresan tanda penyiletan di sekujur lengannya, dengan sebatang rokok yang dia beli secara ketengan, perasaan senasib sebagai orang tersingkirkan menunjukkan nilai kemanusiaan yang terwujud dalam hal sederhana.

Sosok perempuan muda itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah kaum yang tersingkirkan. Dia terlihat menyadari keberadaannya dalam bis kota itu sebagai orang yang mungkin sebaiknya dijauhi. Dia duduk terpisah sendiri di deretan bangku paling belakang seakan mengerti bahwa kehadirannya bisa mengganggu kenikmatan oarang lain. Dia sangat peduli dengan keadaan sekelilingnya yang mungkin tidak peduli terhadap dirinya.

Tapi ada satu kejadian kecil yang mengubah pemahaman atas ketersingkiran seseorang. Ada seorang pengamen laki-laki masuk dengan menggendong anaknya yang masih bayi. Sang bapak menyanyi dengan botol air mineral berisi pasir sebagai alat musiknya. Saya sendiri tidak bisa mengerti apakah si bayi yang mencari uang demi sang bapak, atau justru sang bapak yang bekerja keras memenuhi kebutuhannya. Ah...., atau mungkin itu hanya pikiran saya yang sedang menerawang saja.

Tatkala si perempuan muda akan turun, telinga saya mendengar dialog seperti ini.

Perempuan : Nih Bang, buat makan bayi lu!

Laki-laki : Ga usah lah. Itu kan juga buat makan lu, gua kagak mau. Lu kan juga perlu makan. Emang lu udah ada uang buat makan?
Perempuan : Gua sih gampang, sebentar juga bakalan dapet duit. Kasihan bayi lu kalo kagak makan
Laki-laki : Bener ga usah.

Lalu terjadilah tarik ulur, si perempuan muda memaksakan uangnya agar diterima sementara si laki-laki pengamen menolak dengan keras menerima uang dari perempuan muda itu. Akhirnya, jalan tengah pun muncul. Si bayi lah yang akhirnya menerima uang seribuan dari si perempuan muda. Si bayi tersenyum dan tertawa menerima uang tersebut, si bayi yang tanpa sadar sudah terjebak dalam denyut budaya kota besar, bayi yang belajar secara langsung bagaimana budaya memberi dan menerima perhatian terhadap kaumnya. Dan jiwa bayi akan merekam semuanya itu untuk kehidupannya nanti.

Di Blok M, di dekat pasaraya yang menjulang megah, "suatu ketika" itu terjadi. Tanpa budaya gembar gembor lewat pengeras suara seperti menjelang kampanye, tanpa ada keinginan untuk menarik perhatian kaum tersisih yang sering semakin tersisihkan.

Kadang saya malu terhadap diri sendiri karena kadang-kadang terjebak pada gagasan muluk menuju awan dan lupa dimana kaki saya berada. Mungkin saya harus lebih banyak belajar dari perempuan muda dengan keberadaanya yang disetrika sebagaimana tattonya, dengan goresan di sekujur lengannya seperti goresan di hati yang dia alami dalam hidupnya.

LEBIH ENAK JADI KERE

12 November 2007


Sebagai orang daerah, terus terang saja saya masih gamang dengan keadaan kota besar baik dari luasnya, karakter manusianya, keramaiannya, keamanannya, da juga dengan "budaya baru" yang senantiasa berkembang dan hadir setiap hari.

Karena sering mendapat kesempatan mengunjungi kota besar seperti Jakarta, kadang-kadang saya merasa capai secara badani dan jiwa( ni?) karena "keberadaan"konsep kota besar itu. Kelelahan fisik mungkin bisa cepat diatasi dengan cukup istirahat dan makan yang bergizi, tapi bagaimana dengan keadaan jiwa sebagai inti dari keberadaan "wong ndeso"?

Dalam setiap pertemuan , adalah hal biasa kalau pembicaraan sebagai hasil pertemuan dua manusia Indonesia berkisar pada hal-hal keluarga, pekerjaan, dan pandangan hidup yang dimiliki secara pribadi. Pertanyaan dan jawaban tentang sudah menikah, punya anak berapa, kerja di mana, adalah santapan rutin yang senantiasa hadir. Hanya saja, saya sebagai "wong ndeso" terkadang merasa capai kalau pertanyaan yang bernuansa lembaran kertas bertulisan "rupiah" hadir dalam keindahan bertanya jawab.

Rasa capai itu sering hadir tatkala teman bicara memunculkan kata "TAJIR", kata yang saya rasa cukup "sakti" untuk menilai keberadaan seseorang. Bagaimana tidak sakti kalau dalam setiap obrolan, kata itu muncul ketika saya mengatakan apa pekerjaan saya. Contohnya

A : "Kamu kerja apaan?"
B : "Saya guru, ngajar bahasa Indonesia"
A : " Kok cuma sebentar di Jakarta?
B : "Soalnya murid cuma mau belajar sebantar aja"
A : "Lho, kamu ngajar siapa, anak-anak sekolah? "
B : "Nggak, sih. murid saya orang-orang asing."
A : "Wah, asik dong, duitnya gedhe tuh. Dolar kan? kamu tajir, ya


Terus terang saja hal ini membuat saya menjadi malas untuk menjawab dan meneruskan obrolan santai itu. Kemalasan saya timbul karena tanya jawab berikutnya biasanya berkisar pada "kesaktian" lembaran warna-warni yang menari di depan mata. Kadang-kadang mereka tidak percaya kalau saya bisa juga merasakan hembusan angin dari atas ojek atau bajaj, kuatnya tangan karena bergelantungan di dalam busway, bagaimana nikmatnya menu istimewa yang senantiasa sama di WARTEG"

Ah, mungkin saya saja yang menjadi naif dengan obrolan semacam ini, atau barangkali merasa malu dengan perbedaan antara pandangan meraka dan kenyataan yang ada? Atau bisa jadi saya salah dalam menilai 'budaya kota besar" yang barangkali juga tidak selalu memunculkan "mantra TAJIR"

Atau sebaiknya saya mendalami saja mantra "tajir" sebagai bagian dari budaya perkotaan?

RASA ITU TIDAK LAGI SAMA

12 November 2007


Konon, ada suatu daerah di negeri yang terkenal dengan senyum manis warganya yang selalu tersungging di bibir masyarakatnya. Kasih sayang dan perhatian tulus selalu tercermin dalam raut muka yang bersih dari keinginan menyusahkan orang lain, apa lagi mengambil yang bukan haknya. Ah, Tetapi mereka juga memiliki harta dan kekayaan bersama, yaitu 'rasa sama'. Harta dan juga sekaligus pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan luar biasa dalam menghadapi segala keadaan.

"Seneng-susah kuwi padha, lan uga dadi duwekke pepada " Rasa senang dan susah itu sama, dan juga milik sesama". Tidak ada orang yang merasa lebih bahagia dari orang lain, tiada orang yang jauh merasa menderita daripada sesamanya. Rasa itu sama dan dirasakan sama oleh sesamanya, semua orang. Pepada adalah padha, sama, sesama. Tidak berbeda meskipun berbeda secara badani.

"Tangga teparo kuwi sedulur" adalah kebahagiaan seseorang dalam berasa sama dengan orang lain, teparo adalah bentuk dari paro yang artinya setengah. Tetangga adalah setengah bagian dari keseluruhan hidup orang di daerah itu. Setengah tidak akan menjadi satu kalau tidak ada setengah yang lain.

Namun, ketika Sang Hyang Antaboga menggerakkan ekornya dan menimbulkan bumi horeg, sehingga daerah itu ketaman lindu sedina kaping pitu, "rasa sama" itu meredup perlahan. Ekor Sang Hyang Antaboga yang menggoyang bumi 7 kali dalam sehari mendangkalkan "rasa sama", mengurangi pamor pusaka pada titik yang membahayakan.

Lindu atau gempa itu sendiri diterima sebagai sesuatu yang memang bisa terjadi dan harus diterima dengan rasa yang benar, tinampa kanthi legawa. Sesuatu yang harus diterima dengan rasa kesadaran penuh, legawa. Tangga teparo tetap menjadi setengah dari satu, kabeh ngrasakake rasa kang padha. Semua merasakan rasa yang sama, tidak ada yang lebih atau kurang.

Bencana atau Kala bendu yang benar-benar meluluhlantakkan rasa sama ternyata muncul belakangan. Kala bendu itu datang dari Batara Kalla- batara pembawa bencana, yaitu "lindu awujud lathi ing tengahing idu" Horegnya bumi dalam wujud bibir yang bersimbah ludah. Bibir yang menghasilkan kata. Kata dan angka yang membawa bencana.

Kekuatan gempa itu berjuta-juta kali lebih dahsyat dari sabetan ekor Sang Hyang Antaboga. Kehancuran yang ditimbulkannya bernilai 10, 20, bahkan 30 juta kali. Bebendu yang ditimbulkan Batara Kalla sungguh maha dahsyat dan menghancurkan rasa sama,

Rasa sama yang menjadi pusaka sekaligus panutan warga di daerah itu pun mulai redup, seiring nilai kehancuran yang dirasakan. Kekuatan 's ama dalam rasa" perlahan berubah menjadi rasa saya 3 juta lebih besar dari rasa kamu. Tangga sebagai tidak lagi menjadi teparo-setengah.Tetangga memang "mung separo", hanya setengah. Setengah, bukan satu. Ora padha, tidak sama. Tangga kena pinilara ing rasa lan raga, tetangga bisa disakiti secara jasmanidan rohani.

Karena rasa tidak lagi sama dan tetangga bukan lagi bagian dari satu, maka lahirlah anak turun dari Batara Kalla sebagai wujud dari kalabendu itu. Anak turunan dari Betara Kalla itu adalah kekerasan, keserakahan, sebagai bagian dari rasa tega.

Konon, ada satu daerah di negeri yang terkenal dengan senyum indahnya berubah menjadi senyum bengis dari seorang tetangga pada sesamanya. Senyum bengis karena rasa yang tidak sama diantara sesama.

Kasih sayang yang tulus berubah menjadi kasih saya uang kalau kamu sayang dengan hidupmu. Batara Kalla memang membawa bebendu

Rasa itu tidak lagi sama.....

JAGAD YANG TERBALIK

12 November 2007

Dalam satu perhelatan akbar suatu kelompok masyarakat "priyayi baru" beberapa saat lalu, jagat bali winalik, buana kembali diputar ketika " sang makro" memasuki dunia " si mikro" dalam pelayanan dan kesederhanaan serta pengakuan disertai penghargaan yang tulus. Bagaimana tidak, seorang Raja Jawa menempatkan dirinya pada kedudukan sebagai penyambung lidah si abdi dalem dihadapan "para priyayi baru" dalam memaknai apa arti kepemimpinan. Sang Raja justru menjadi penterjemah tentang kepemimpinan yang dipahami dari kaca mata kebijakan si abdi dalem, kebijakan yang bermula dari rasa sebagai manusia biasa di hadapan alam semesta yang sangat luas dan kesederhanaan di bawah kuasa SANG PENCIPTA, GUSTI KANG AKARYA JAGAT. Sang raja harus diajak mencerna bahasa si abdi dalem dan dengan kerendahan hati juga sang raja bersedia menjadi "gusti kang ngawula". Bahkan diakui oleh sang Raja, beliau mengatakan dengan jujur kesulitan yang dialaminya ketika harus "membahasakan" bahasa si abdi dalem, sama seperti halnya para bendara yang harus memaknai ucapan Semar dalam jagat pewayangan. Sang Raja tidak merasa rendah diri ataupun direndahkan dalam pasamuan akbar "para priyayi baru", sang raja justru mengambil tempat sebagai penyampai pesan dari manusia biasa. Tahta untuk rakyat tampak secara nyata dalam perhelatan ini, mahkota yang disandingkan dengan blangkon.


Kebijakan dan rasa kepemimpinan yang tidak dirasakan sebagai kesombongan dan kesemuan si abdi dalem sebagai cerminan "kawula", bahkan barangkali tidak pernah dirasakan sebagai kepemimpinan si abdi dalem ditampilkan pada pasamuan akbar "para priyayi baru" sebagai penutup merupakan tanda tentang kesederhanaan dan kerendahan hati seorang manusia biasa yang sangat setia dan bisa memaknai bagaimana seharusnya setia terhadap tugas yang diemban, keteguhan dan keberanian meghadapi bahaya demi sesama. Inilah sikap pemimpin satu kelompok masyarakat kecil sekaligus kesadaran seorang abdi dalem yang justru sangat ironis karena hal ini disampaiakan di hadapan "para priyayi baru" yang merasa dengan sangat bangga sebagai pemimpin negeri ini. Yang kadang dengan congkak hati justru mengambil sikap sebagai penentu kerusakan negeri ini.

Jagat kang winalik benar-benar terjadi dalam satu peristiwa yang mungkin sangat biasa dan tidak bermakna dalam jagat pewayangan hidup di negeri ini. Jagat benar-benar dibalik karena sang raja menjadi sang abdi. Jagat kembali diputar ketika "para priyayi pemimpin" negeri ini masih diajari bagaimana seharusnya berperasaan, berperilaku, dan berpenghayatan serta bertindak sebagai pemimpin. Di satu sisi ada cerminan bagaimana kearifan seorang jawa dalam menghambakan dirinya sebagai abdi dalem, dan di sisi lain ada ironi bagaimana para pemimpin ternyata masih tidak tahu bagaimana menjadi pemimpin karena tidak tahu bagaimana para kawula berbahasa.

Manunggaling kawula gusti dalam bentuk menyatunya abdi dalem-ratu tidak berhenti saat itu saja karena sang ratu mengambil satu keputusan mengambil posisi lebih tegas dalam memberikan dhampar kencana bagi kawula, tahta untuk rakyat. Semoga.

SESUATU YANG GILA

07 November 2007

Suatu hari ketika saya dikejutkan oleh hal yang sangat luar biasa dari hal yang sungguh biasa. Telur ayam kate saya menetas...... . Saya sudah sering melihat bagaimana proses telur yang menetas lewat tV atau kdang dengan mata sendiri dan itu adalah hal yang saya rasakan sebagai sesutau yang biasa, lha kan memang sudah seharusnya begitu..... Kebiasaan itu wajar karena 2 ayam kawin dengan perlu berlari-lari sebelumnya, lalu ayam betina bertelur dan dierami dan sesudah 21 hari menetas. Mata saya melihat hal ini sebagai kewajaran biasa.

Tapi, hari itu, saya melihat sesuatu yang berbeda. Bagaimana mungkin calon anak ayam bisa secara sadar (mungkin) mematuki kulit telurnya sendiri dan keluar dai cangkangnya. Dari mana si anak ayam bisa tahu bahwa caranya keluar dari cangkang. Siapa yang mengajari si anak ayam?

Tiba-tiba saya dikejutkan lagi oleh perasaan yang muncul secara mendadak. Ada sesuatu yang menggerakkan saya untuk langsung berkomentar "GILA!!!". Gila yang menakjubkan, bukan gila seperti tingkah saya yang menakutkan orang lain. GILA!! Kok bisa ya semua ini terjadi? Keheranan ini semakin kuat ketika saya saar bahwa yang menggerakan semua ini pasti lebih gila lagi. God must be crazy!!

07 November 2007

SIKAT!!!!!!

Sikat dalam segala macam bentuknya adalah alat yang punya peran cukup besar dalam hidup manusia. Bayangkan kalau tidak ada sikat gigi dalam kehidupan kita, pasti dunia akan suram karena senyum indah tidak akan muncul dari mulut kita. Bangsa kita yang terkenal sebagai bangsa murah senyum akan berganti rupa menjadi bangsa yang dipenuhi muramnya wajah karena mulut tertutup. Mungkin hanya bayi poloslah satu-satunya makhluk hidup dari jenis manusia yang masih mengilhami kita untuk mengenal apa yang namanya senyum, masih merasakan bagaimana bermaknanya senyum untuk membagi rasa cinta dan bahagia. barangkali juga kita bisa berterima kasih kepada para jompo yang tidak harus menyikat lagi gigi mereka karena ketiadaan giginya.

Ah, tak dapat dibayangkan bagaimana dunia ini akan berseri kalau tidak ada gerakan " sikat habis korupsi" yang jelas-jelas merupakan budaya baru bagi negeri yang "baru" akan berumur 62 tahun. umur yang seharusnya cukup matang untuk ukuran orang yang tahu bagaimana harus "sikat- menyikat". Juga tak bisa digambarkan bagaimana hancurnya tunas anak negeri ini kalau tidak ada niat untuk " sikat narkoba".

Tetapi, apalah artinya harga diri kalau ternyata kita juga disuguhi suatu tontonan kotor sebagai "budaya mutakhir" yang disajikan para pejuang rakyat dengan "sikat dulu, urusan belakangan" yang ternyata masih juga melahirkan anakan budaya baru " sikat yang lain supaya tdiak jatuh malu". Dan ketika kotoran itu sudah bergulir, tidak ada sikat yang cukup besar untuk membersihkannya kecuali senjata pamungkas yaitu 'sapujagad' dengan melontarkan kesalahan pada pihak yang tidak jelas bentuknya, jagad media massa.


Budaya ini sungguh ironis karena seseorang merasa bisa menyikat siapa saja dengan sangat bangganya - bahkan berani manjanjikan bukti yang bisa dipakai sebagai "sikat' - tanpa rasa sungkan dan tanpa pertimbangan sebagai orang yang dianggap dewasa. Sikat yang seharusnya membersihkan menjadi tak bermakna dan bergelimang kekotoran.

Mungkin "sang sikat" seharusnya dikembalikan pada tempat yang semestinya sebagai alat untuk membersihkan segala yang bernoda, memberi keindahan dan warna kemanusiaan saja tanpa embel-embel dan imbuhan apapun yang semakin mencampakkan sisi indah hidup kita.

Mungkin kita juga harus lebih rajin menyikat gigi supaya warisan budaya lokal kita dengan "Senyumlah karena kita dikenal sebagai bangsa berbudaya yang tulus dalam tersenyum ", akan tetap hadir. Tak peduli bagaimana bencana meluluhlantakkan negeri kita ini. Tak peduli biarpun polah tingkah "manusia berbudaya baru" dalam memakai dan memaknai sikat yang terkadang untuk mengotori indahnya hidup dan bahagianya tersenyum.

Ah, memang sikat hanyalah sebuah kata, kata yang tidak jelas kadar budayanya.

Pencerahan dan kebenaran

14 November 2007


Perasaan takut, khawatir, gelisah dan segepok keraguan masih menempel sebelum kuambil keputusan pergi Ke Nanggroe Aceh. Segudang nasehat dan petuah dari sahabat dan teman sejawat juga membuat saya lebih akurat dalam memilih pakaian, menuntun bagaimanakah sebaiknya bertindak dan berperilaku " yang pas" selama berkiprah di Aceh.

Sampai di Bandara Sukarno-Hatta sesudah, saya langsung dihadapkan pada satu hal yang menarik dan mengubah sedikit "bekal" yang saya bawa dari Jawa. Ah, ternyata siku laki-laki boleh saja terlihat, tidak harus memakai baju panjang menutup siku! Padahal dalam kopor saya, ada beberapa baju lengan panjang sebagai "bekal beradaptasi". Kejutan lain juga ternyata sudah menunggu di tanah serambi , lha ternyata ada juga laki-laki yang bertelanjang dada di pinggir jalan, serta kaum hawa yang berpakaian sebagaimana biasanya dalam rumah seperti yang saya lihat di kost saya.

Lebih menarik lagi, "bekal dan nasihat" yang saya bawa ternyata tidak berlaku 100 % tepat. Lha...., saya lalu berpikir dan tercenung. Saya yang bodoh karena menelan mentah-mentah petuah yang masih dibumbui juga rasa deg-degan, atau memang sebenarnya tanah serambi ini tidak seperti yang saya dengar selama ini?? Atau bahkan kedua hal itu bercampur?

Di jalanan pun, saya lihat ada perbedaan yang cukup tajam dari apa yang saya pahami dan pikirkan dengan kenyataan yang ada di sana. Lalu lalang kendaraan dengan penumpang berbusana muslim " ala" NAD justru semakin menguatkan bahwa "sangu" saya sedikit berlebihan, khususnya di daerah perkotaan. Bagaimana tidak, yang saya lihat adalah adanya kontradiksi yang tidak terlalu kentara, ada "tawar-menawar" antara keinginan dan aturan pada generasi mudanya.

Dalam waktu senggang, saya membaca koran lokal yang isi beritanya sama persis dengan daerah lain : keinginan mendapat lebih banyak materi dengan cara mengambil yang bukan haknya, penguasaan satu manusia atas sekelompok manusia lain, ketidakpedulian atas keberadaan makhluk lain. Sama seperti di tanah tanpa tuntunan keyakinan yang khas, tanah lain yang sudah terlibat dalam kemajuan zaman. Dalam hati saya berpikir inikah kebenaran yang sebenarnya tentang manusia, manusia yang kadang-kadang tidak mau terikat oleh ruang dan waktu dalam keberadaannya? Apakah ini juga bagian dari pencerahan yang saya terima dalam ukuran yang sangat kecil?

Tetapi, rupanya saya masih harus mengalami sesuatu yang sangat mengejutkan. Pada malam terakhir di Banda, saat saya berpamitan, ibu kost saya bertanya kepada saya untuk masuk ke kepercayaan yang dianutnya. Dan kalau saya bersedia, esok pagi sebelum kembali ke Jawa saya akan diajak untuk secara resmi memasuki "dunia baru" WAH!!!!!

Saya sangat tidak menyangka bahwa pada saat-saat terakhir itulah saya mendapatkan "pencerahan", menerima "pembenaran" atas keyakinan saya selama ini. Tentu saja saya harus bermanis-manis untuk menjawab permintaan tersebut demi keharmonisan dengan mengatakan "terima kasih, tapi mungkin saatnya belum tiba". Pada saat itu saya jauh dari rasa marah atau kagum atau bahkan sedih. Hanya rasa terkejut saja yang muncul

Sesudah kembali ke Yogya, saya lalu merenung dan mencari jawaban atas "pencerahan itu". Apakah Sang Pencipta terlibat dalam hal ini? Apakah Sang Pencipta saya tidak sama dengan Sang Pencipta ibu kost? Apakah saya memang belum mengenal Sang Pencipta saya yang sudah ada dalam hati saya?
Di mana sebenarnya berada kebenaran?

KEMATIAN YANG SIA-SIA?

ketika sebagian besar orang beharap menemukan kebahagiaan,
dengan segala upaya yang diperjuangkan dalam hitungan tahun,
hilang sudah semuanya dalam sekejap,
dalam lautan manusia yang merayap,
menyergap,
lenyap,

maut menjemput di depan,
tinggal roh dalam penantian
dalam mencapai tujuan
senyap

kesia-siaan pergulatan dalam tahunan
karena kehendak dan kealpaan
perjalanan